Minggu, 16 Januari 2011

Letjen.Anumerta S. Parman



Pahlawan Revolusi - Letjen. Anumerta S. Parman (1918-1965)
PDF Print E-mail
SETIA PADA PANCASILA

Kata orang bijak, fitnah lebih kejam daripada membunuh. Dan apa yang dilakukan oleh PKI pada tujuh perwira pada malam 30 September 1965 jauh lebih kejam lagi. Setelah memfitnah dengan menyebutkan bahwa para Jenderal itu telah bekerjasama dengan satu negara luar untuk menjatuhkan Presiden Soekarno, PKI juga menculik dan membunuh perwira-perwira tersebut secara sadis dan biadab. Letjen. Anumerta S. Parman yang waktu itu menjabat sebagai Asisten I Menteri/Panglima Angkatan Darat termasuk salah satu dari ketujuh perwira tersebut.
Pria kelahiran Wonosobo, Jawa Tengah ini merupakan perwira intelijen, sehingga banyak tahu tentang kegiatan rahasia PKI karena itulah dirinya termasuk salah satu di antara para perwira yang menolak rencana PKI untuk membentuk Angkatan Kelima yang terdiri dari buruh dan tani. Penolakan yang membuatnya dimusuhi dan menjadi korban pembunuhan PKI.
Perwira yang gugur sebagai Pahlawan Revolusi ini lahir di Wonosobo, Jawa Tengah, 4 Agustus 1918. Pendidikan umum yang pernah diikutinya adalah sekolah tingkat dasar, sekolah menengah, dan Sekolah Tinggi Kedokteran. Namun sebelum menyelesaikan dokternya, tentara Jepang telah menduduki Republik sehingga gelar dokter pun tidak sampai berhasil diraihnya.
Setelah tidak bisa meneruskan sekolah kedokteran, ia sempat bekerja pada Jawatan Kenpeitai. Di sana ia dicurigai Jepang sehingga ditangkap, namun tidak lama kemudian dibebaskan kembali. Sesudah itu, ia malah dikirim ke Jepang untuk mengikuti pendidikan pada Kenpei Kasya Butai. Sekembalinya ke tanah air ia kembali lagi bekerja pada Jawatan Kempeitai.
Awal kariernya di militer dimulai dengan mengikuti Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yaitu Tentara RI yang dibentuk setelah proklamasi kemerdekaan. Pada akhir bulanDesember, tahun 1945, ia diangkat menjadi Kepala Staf Markas Besar Polisi Tentara (PT) di Yogyakarta.
Selama Agresi Militer II Belanda, ia turut berjuang dengan melakukan perang gerilya. Pada bulan Desember tahun 1949 ia ditugaskan sebagai Kepala Staf Gubernur Militer Jakarta Raya. Salah satu keberhasilannya saat itu adalah membongkar rahasia gerakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang akan melakukan operasinya di Jakarta di bawah pimpinan Westerling. Selanjutnya, pada Maret tahun 1950, ia diangkat menjadi kepala Staf G. Dan setahun kemudian dikirim ke Amerika Serikat untuk mengikuti pendidikan pada Military Police School.
Sekembalinya dari Amerika Serikat, ia ditugaskan di Kementerian Pertahanan untuk beberapa lama kemudian diangkat menjadi Atase Militer RI di London pada tahun 1959. Lima tahun berikutnya yakni pada tahun 1964, ia diserahi tugas sebagai Asisten I Menteri/Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad) dengan pangkat Mayor Jenderal.
Ketika menjabat Asisten I Menteri/Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad) ini, pengaruh PKI juga sedang marak di Indonesia. Partai Komunis ini merasa dekat dengan Presiden Soekarno dan sebagian rakyat pun sudah terpengaruh. Namun sebagai perwira intelijen, S. Parman sebelumnya sudah banyak mengetahui kegiatan rahasia PKI. Maka ketika PKI mengusulkan agar kaum buruh dan tani dipersenjatai atau yang disebut dengan Angkatan Kelima. Ia bersama sebagian besar Perwira Angkatan Darat lainnya menolak usul yang mengandung maksud tersembunyi itu. Dengan dasar itulah kemudian dirinya dimusuhi oleh PKI.
Maka pada pemberontakan yang dilancarkan oleh PKI tanggal 30 September 1965, dirinya menjadi salah satu target yang akan diculik dan dibunuh. Dan pada tanggal 1 Oktober 1965 dinihari, Letjen. TNI Anumerta S. Parman bersama enam perwira lainnya yakni Jend. TNI Anumerta Achmad Yani; Letjen. TNI Anumerta Suprapto; Letjen. TNI Anumerta M.T. Haryono; Mayjen. TNI Anumerta D.I. Panjaitan; Mayjen. TNI Anumerta Sutoyo S; dan Kapten CZI TNI Anumerta Pierre Tendean berhasil diculik kemudian dibunuh secara membabi buta dan jenazahnya dimasukkan ke sumur tua di daerah Lubang Buaya tanpa prikemanusiaan.
S. Parman gugur sebagai Pahlawan Revolusi untuk mempertahankan Pancasila. Bersama enam perwira lainnya ia dimakamkan di Taman Makan Pahlawan Kalibata. Pangkatnya yang sebelumnya masih Mayor Jenderal kemudian dinaikkan satu tingkat menjadi Letnan Jenderal sebagai penghargaan atas jasa-jasanya.
Untuk menghormati jasa para pahlawan tersebut, oleh pemerintah Orde Baru ditetapkanlah tanggal 1 Oktober setiap tahunnya sebagai hari Kesaktian Pancasila sekaligus sebagai hari libur nasional. Dan di daerah Lubang Buaya, Jakarta Timur, di depan sumur tua tempat jenazah ditemukan, dibangun tugu dengan latar belakang patung ketujuh Pahlawan Revolusi tersebut. Tugu tersebut dinamai Tugu Kesaktian Pancasila.

bung tomo

bung-tomo-2Sutomo lahir di Surabaya, 3 Oktober 1920. Ia melewati masa kecil hingga dewasa di Surabaya. Arek Suroboyo asli. Tapi, nama masyhurnya bukan Cak Tomo, melainkan Bung Tomo. Inilah biodata singkat Cak, eh, Bung Tomo.
Masa remaja:
1. Anggota Gerakan Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI) Lulus Ujian Pandu Kelas I (yang pertama di Jawa Timur dan kedua untuk seluruh Indonesia), di Indonesia waktu itu hanya ada tiga pandu kelas satu.
2. Sekretaris Parindra ranting anak cabang di tembok duku, Surabaya sekitar tabun 1937.
3. Ketua ke1ompok sandiwara Pemuda Indonesia raya di Surabaya, mementaskan cerita-cerita perjuangan tahun 1939 sampai balatentara Jepang datang.
Masa Pemuda:
1. Wartawan free lance pada Harian Soeara Oemoem di Surabaya 1937.
2. Wartawan dan penulis pojok harian berbahasa Jawa, Ekspres di Surabaya 1939.
3. Redaktur Mingguan Pembela Rakyat, di Surabaya 1938.
4. Pembantu koresponden untuk Surabaya, Majalah Poestaka Timoer Jogjakarta, sebelum perang di bawah asuhan almarhum Anjar Asmara.
5. Wakil pemimpin redaksi kantor berita pendudukan Jepang Domei bagian Bahasa Indonesia, untuk seluruh Jawa Timur di Surabaya 1942-1945. Dan memberitakan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dalam tulisan bahasa Jawa, bersama wartawan senior Romo Bintarti (untuk menghindari sensor balatentara Jepang).
6. Pemimpin Redaksi Kantor Berita Indonesia Antara di Surabaya 1945.
Masa Revolusi Fisik 1945-1949:
1. Ketua umum/pucuk pimpinan Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI) dengan cabangnya di seluruh Indonesia. BPRI mendidik, melatih dan mengirimkan kesatuan-kesatuan bersenjata ke seluruh wilayah tanah air. Setiap malam mengucapkan pidato dari Radio BPRI untuk mengobarkan semangat perjuangan yang selalu di relai oleh RRI di seluruh wilayah Indonesia (1945-1949). Sebagai pimpinan BPRI sejak 12 Oktober 1945 sampai Juni 1947 (sampai dilebur didalam Tentara Nasional Indonesia).
2. Anggota Dewan Penasehat Panglima Besar Jenderal Sudirman.
3. Ketua Badan Koordinasi Produksi Senjata Seluruh Jawa dan Madura.
4. Dilantik oleh Presiden Soekarno sebagai anggota pucuk pimpinan Tentara Nasional Indonesia, bersama Jenderal Sudinnan, Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo, Komodor Soerjadarma, Laksamana Nazir dan sebagainya, dengan pangkat Mayor Jenderal TNI AD, dengan tugas koordinator AD, AL, AU di bidang informasi dan perlengkapan perang.
5. Anggota Staf Gabungan Angkatan Perang RI.
6. Ketua Panitia Angkutan Darat (membawahi bidang kereta api, bis antar kota dan sebagainya, dengan tugas mengkoordinasikan semua alat angkutan darat di wilayah RI) dan bertanggung jawab langsung kepada Panglima Besar TNI.
7. Membuat siaran pengumuman panggilan masuk kemiliteran RI yang pertama.
Foto Legendaris
bung-tomoFoto ini legendaris, selalu muncul di setiap publikasi 10 November, menjadi ilustrasi buku sejarah jika mengulas perang 10 November. Siapa pemotretnya dan bagaimana situasi yang melatarbelakanginya?
Di foto itu Bung Tomo yang ceking terlihat gagah berpidato. Berseragam militer, tangan kanannya menunjuk ke atas. Kumisnya tipis, matanya tajam. Kepalanya dinaungi payung bergaris-garis dan corong bundar menghadang mulutnya.
Namun siapa sangka, foto itu sebenarnya bukan diambil saat perang 10 November 1945, tetapi beberapa tahun setelahnya. Istri Bung Tomo, Sulistina, mengakui foto itu tidak dijepret di Surabaya. “Itu yang motret
IPPHOS, di lapangan Mojokerto. Waktu itu Bapak sedang berpidato. Nggak dibuat-buat, kok,” tanya ujar Sulistina. Putra kedua Bung Tomo, Bambang Sulistomo, membenarkan ayahnya tidak sempat diabadikan pada perang 10 November karena perannya yang penting sehingga posisinya selalu dirahasiakan.
Lantas siapa yang memotret Si Bung sehingga foto hitam putih ini mampu bercerita banyak tentang kegagahan 10 November? Surya mendatangi kantor IPPHOS Surabaya di Jl Urip Sumohardjo. IPPHOS kependekan dari Indonesia Press Photo Service, biro dokumentasi foto satu-satunya di zaman perang.
Sayang, IPPHOS Surabaya tidak aktif lagi. Tidak ada orang yang bisa memberi keterangan tentang foto ini.
Beruntung, ada sejumlah literatur terkait foto legendaris ini. Faktanya, selama periode terakhir 1945, ketika perang Surabaya berkecamuk, ternyata tidak ada satupun surat kabar yang memuat foto Bung Tomo berpayung ini.
Foto itu pertama kali muncul dalam majalah dwi bahasa, Mandarin dan Indonesia, Nanjang Post, edisi
Februari 1947. Ada foto Bung Tomo dengan pose dahsyat ini. Dijelaskan dalam keterangan foto itu bahwa Bung Tomo sedang berpidato di lapangan Mojokerto dalam rangka mengumpulkan pakaian untuk korban Perang Surabaya.
Saat itu masih banyak warga Surabaya yang bertahan di pengungsian di Mojokerto dan jatuh miskin. Sementara Surabaya sedang diduduki Belanda. Sulistina hanya mengenal nama Mendur, wartawan foto IPPHOS yang mengambil gambar ‘Bapak’.
Lantas siapa Mendur? Nama lengkapnya Alexius Mendur (1907-1984), pendiri IPPHOS. Mendur adalah legenda fotografi era perang. Dialah yang mengabadikan hampir semua peristiwa bersejarah periode 1945-1949.
Dia satu-satunya fotografer yang memotret pembacaan proklamasi RI 17 Agustus 1945. Alex bukan orang asing bagi Bung Tomo. Mereka bersahabat sejak lama karena sama-sama wartawan. Di zaman Jepang, Bung Tomo adalah pemimpin redaksi kantor Berita Domei yang kelak menjadi Kantor Berita Antara di Surabaya.
Sementara, Mendur tercatat sebagai kepala desk foto kantor berita Domei Jakarta. Alex Mendur dan saudara kembarnya, Frans Mendur, mendirikan IPPHOS pada 2 Oktober 1946 di Jakarta. Beberapa nama lain juga tercatat sebagai pendiri IPPHOS. Misalnya, JK Umbas, FF Umbas, Alex Mamusung, dan Oscar Ganda.
Hasil jepretan Mendur itu sudah berbicara banyak. Tanpa mendengar pidato Bung Tomo dan hanya melihat foto itu, orang sudah bisa membayangkan dengan jelas bagaimana situasi pada masa itu. Tak mengherankan kalau kemudian foto itu dianggap sebagai salah satu yang terbaik yang pernah dibuat di era perang kemerdekaan.